Catatan:
Artikel ini merupakan bahan siaran untuk Radio Sonora FM Jogjakarta pada Sabtu, 14 September 2013. Artikel ini merupakan opini dari pengalaman empirik dari penulis, dan bukan sebagai pengganti konsultasi dengan dokter, psikiater, psikolog, atau terapis. Untuk kebutuhan konsultasi, metode, workshop, dan seminar tentang “Mengatasi Trauma”, silakan hubungi 0819-1047-3460.
Apa itu Trauma?
Menurut APA (American Psychological Association), definisi trauma adalah sebagai berikut:
“Trauma is an emotional response to a terrible event like an accident, rape or natural disaster. Immediately after the event, shock and denial are typical. Longer term reactions include unpredictable emotions, flashbacks, strained relationships and even physical symptoms like headaches or nausea. While these feelings are normal, some people have difficulty moving on with their lives.”
Dari definisi APA di atas, dapat dipahami bahwa trauma merupakan respons emosional yang cukup umum terjadi terhadap kejadian-kejadian mengerikan. Efek trauma ternyata tidak hanya berada di tataran mental-emosional, tetapi juga berdampak pada fisik. Yang perlu dicermati dari pernyataan di atas adalah “Walaupun perasaan-perasaan tersebut adalah normal, beberapa orang mengalami kesulitan untuk melanjutkan hidup mereka.”
Traumakah kita?
Dalam istilah dunia psikologi, dikenal istilah assessment, yaitu suatu bentuk wawancara atau tes yang dilakukan untuk mengetahui apakah seseorang menderita trauma atau tidak. Tentunya assessment ini harus dilakukan oleh seorang profesional atau terapis yang telah berpengalaman. Hasil dari assessment ini kemudian digunakan sebagai rujukan tingkat trauma seseorang.
Secara awam, kita tentu dapat mencoba untuk menilai diri sendiri apakah kita menderita trauma atau tidak. Pengecekan sederhana dapat dilakukan dengan menanyakan kepada diri sendiri:
- Adakah peristiwa mengerikan yang pernah dialami?
- Adakah sensasi sakit, baik fisik (seperti migrain, maag, mual, dan lain-lain) atau mental-emosional (seperti takut, panik, marah, dan lain-lain yang berlebihan) saat teringat pada suatu peristiwa yang telah berlalu atau menghadapi suatu keadaan yang mirip dengan peristiwa yang berlalu tersebut?
- Adakah suatu kegiatan yang kita tidak mau lakukan lagi walaupun sebelumnya kita sangat ahli dalam melakukan kegiatan tersebut? Adakah suatu fobia/ketakutan berlebihan terhadap sesuatu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan jujur kepada diri sendiri agar kita benar-benar mengetahui kondisi diri sendiri. Bila memang jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah “ADA” atau “YA”, maka ada kemungkinan kita memang mengalami trauma dan mungkin membutuhkan bantuan terapis.
Post Traumatic Stress Disorder
Dalam kehidupan sehari-hari, trauma nyaris tidak mungkin dihindari. Risiko terjadinya trauma selalu ada. Ada kalanya bahkan trauma-trauma tertentu membantu seseorang untuk hidup lebih baik. Trauma akan panasnya api, membuat manusia berhati-hati dalam menggunakannya. Trauma kehilangan keluarga yang dicintai, membuat manusia lebih menghargai keluarganya yang masih ada. Proses melampaui trauma, dapat membuat seorang manusia menjadi lebih baik.
Namun, memang ada kondisi yang disebut sebagai Post Traumatic Stress Disorder, yang definisinya menurut APA (American Psychological Association) adalah:
“PTSD, or post-traumatic stress disorder, is an anxiety problem that develops in some people after extremely traumatic events, such as combat, crime, an accident or natural disaster. People with PTSD may relive the event via intrusive memories, flashbacks and nightmares; avoid anything that reminds them of the trauma; and have anxious feelings they didn’t have before that are so intense their lives are disrupted.”
“Orang-orang dengan PTSD mungkin menghidupkan kembali kejadian tersebut lewat memori, kilasan balik, dan mimpi buruk; mungkin pula mereka akan menghindari segala sesuatu yang mengingatkan mereka akan trauma tersebut; dan memiliki kegelisahan yang tidak mereka miliki sebelum trauma. Kegelisahan tersebut demikian hebatnya hingga merusak hidup mereka.”
PTSD ini dapat merusak hidup seseorang dan seringkali berujung pada tindakan bunuh diri akibat hebatnya kegelisahan yang ia rasakan. Berbeda dengan respons biasa dari trauma yang biasanya semakin memudar seiring waktu, PTSD ini bisa bertahan atau semakin menguat seiring waktu.
Solusi Holistik bagi Trauma
Menurut Harvard Medical Journal, “80% penyakit terkait dengan stress (berasal dari pikiran)”. Inilah sebabnya tidak heran bahwa trauma bisa menyebabkan gejala fisik yang sedemikian parah serta bisa merusak kualitas hidup seseorang.
Untuk mengatasi trauma secara holistik, perlu dipahami terlebih dahulu tentang lapisan dalam diri manusia. Manusia terdiri dari 5 lapisan kesadaran utama, yaitu (1) FISIK; (2) ENERGI; (3) MENTAL-EMOSIONAL; (4) INTELEJENSIA; (5) SPIRITUAL. Kelima lapisan tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Contohnya adalah ketika seseorang mengalami kecelakaan dan harus menjalani amputasi, tentu saja secara FISIK ia mengalami trauma, kemudian MENTAL-EMOSIONALnya pun mengalami trauma, dan ini bisa berefek ada ENERGInya (dimana sangat mungkin terjadi masalah psikosomatis).
Berikutnya bila tidak ditangani dengan baik, sangat mungkin INTELEJENSIAnya terganggu dan ia kehilangan pandangan yang jernih akan kehidupan.
Contoh di atas merupakan alasan bahwa trauma hanya bisa diselesaikan bila ditangani secara holistik. Solusi obat-obatan tidak akan banyak membantu karena hanya menangani secara fisik. Obat-obatan penenang hanya membantu meredakan gejala trauma, bukan mengatasi sebab akar permasalahan dari trauma.
Berikutnya, niat dari penderita trauma juga merupakan faktor yang sangat signifikan dalam mengatasi trauma. Hanyalah dengan adanya niat, barulah terapi-terapi yang bersifat holistik, baru bisa dilakukan untuk mengatasi trauma pada penderita.
Salah satu bentuk terapi holistik yang semakin diminati untuk mengatasi trauma adalah terapi holistik yang didasarkan pada latihan-latihan meditasi. http://www.abc.net.au/news/2013-07-16/war-veterans-increasingly-turn-to-meditation-to-treat-ptsd/4821362.
Di Indonesia sendiri, latihan-latihan meditasi sebagai bentuk pemberdayaan diri, telah dikenalkan oleh Bapak Anand Krishna sejak tahun 1991 lewat Yayasan Anand Ashram. Salah satu kisah sukses kesembuhan tersebut terjadi pada Ibu Maya Safira Muchtar, direktur dari L’Ayurveda, yang berhasil sembuh dari PTSD, padahal dokter/psikiater telah memvonis bahwa beliau harus minum obat-obatan penenang seumur hidupnya. Beliau berhasil sembuh berkat terapi-terapi holistik berbasis meditasi, dan kisah kesembuhan ini merupakan salah satu faktor yang mendorong beliau untuk mendirikan L’Ayurveda, sebagai sarana berbagi kesehatan holistik. Di tahun 2013, divisi khusus Neo Self Empowerment bahkan didirikan untuk menyebarkan metode-metode ini lebih lanjut.
Dengan pemahaman yang holistik tentang Trauma dan latihan-latihan meditasi untuk pemberdayaan diri, trauma akan dapat diatasi dengan baik dan membuka kesempatan bagi para penderitanya untuk pulih serta melanjutkan kehidupannya.
Salam Pemberdayaan Diri!
Empower Your SELF NOW!
Haryadi
Manager NEO SELF EMPOWERMENT
Recent Comments